Salah satu faktor yang memicu kesulian dalam memahami pelajaran dan penjelasan guru adalah i’tiqad atau keyakinan yang lemah dari seorang murid. Salah satu ulama yang secara literal menyampaikan uraian tentang urgensi i’tiqad bagi seorang murid agar mudah memahami pelajaran dan penjelasan guru adalah Syekh Syarafuddin Yahya al-Imrithi dalam kitab Durrah al-Bahiyyah atau lebih akrab dikenal dengan judul Mandhumah al-‘Imrithi. Beliau berkata:
سُئِلْتُ فِيْهِ مِنْ صَدِيْقٍ صَادِقِ ۞ يَفْهَمُ قَوْلِ لِاعْتِقَادٍ وَاثِقِ
إِذِ الْفَتَى حَسْبَ اعْتِقَادِهِ رُفِعْ ۞ وَكُلُّ مَنْ لَمْ يَعْتَقِدْ لَمْ يَنْتَفِعْ
“Aku diminta untuk menyusun kitab ini oleh muridku yang jujur, yang memahami perkataanku sebab memiliki iktikad yang kuat (terhadapku). Karena seorang pemuda diangkat derajatnya sesuai iktikadnya, dan setiap orang yang belum memiliki iktikad tak akan bisa mengambil manfaat.”
Pada bait pertama, Syekh al-Imrithi menjelaskan latar belakang penyusunan Nadzam al-Imrithi. Beliau menjelaskan kitab tersebut ditulis atas permintaan salah seorang muridnya. Murid ini dideskrepsikan sebagai orang yang bisa memahami penjelasan Syekh al-Imrithi karena memiliki iktikad yang kuat terhadap beliau, bahwa Syekh al-Imrithi merupakan sosok yang patut dijadikan sebagai guru, serta layak dihormati dan dimuliakan.
Sementara pada bait selanjutnya, Syekh al-Imrithi menguraikan urgensi i’tiqad baik. Menurutnya, ketinggian derajat seseorang berdasarkan dengan iktikadnya. Dalam konteks dunia pendidikan hal ini bisa diartikan bahwa kemampuan murid dalam menyerap dan memahami materi yang diajarkan oleh guru, diukur dari kekuatan i’tiqad atau keyakinannya terhadap guru. Semakin kuat i’tiqad murid terhadap gurunya, potensinya untuk menyerap materi dan mengambil faidah dari gurunya semakin besar.
Tentu hal ini bukan berarti bahwa iktikad saja cukup sebagai modal memahami materi pelajaran dan mengesampingkan fakor lainnya. Namun teori semacam ini menekankan bahwa i’tiqad baik kepada guru akan meningkatkan potensi dalam menyerap penjelasan serta mengambil manfaat dari seorang guru. Dalam hal ini, Syekh Ibrahim al-Bajuri mengamini teori Syekh al-Imrithi dengan menyatakan:
فَالْإِعْتِقَادُ نَافِعٌ لَا مَحَالَةَ وَلَوْ كَانَ فِى الْأَحْجَارِ
“Sebuah ikikad bagaimanapun juga akan memberikan kemanfaatan, walau pada kerasnya bebatuan sekalipun”
Alhasil, semua bermuara pada husnudzan atau prasangka baik murid kepada gurunya. Karena pada dasarnya i’tiqad baik yang kuat tidak akan muncul tanpa didahului oleh prasangka yang baik sebelumnya.
Dalam kiab al-Fawaid al-Mukhtarah dikisahkan, disalah satu pemukiman ada kuburan yang diziarahi oleh penduduknya. Mereka beriktikad kuburan itu merupakan makam orang yang mulia. Dengan iktikad tersebut, mereka mendatanginya dalam rangka bertawassul untuk hajat dan harapan mereka. Dan berkat i’tiqad baik, Allah mengabulkan hajat mereka. Namun, tak disangka, dikemudian hari ternyata diketahui bahwa yang berada di kuburan tersebut sebenarnya bukanlah wali atau sosok yang mulia, melainkan bangkai keledai. Meski demikian, berkat prasangka dan iktikad baik, orang-orang tersebut memperoleh hajatnya. Di akhir kisah al-Habib Zain bin Ibrahim menuliskan:
بِوَاسِطَةِ حُسْنِ ظَنِّهِمْ نَالُوْا مَا يَأْمُلُوْنَهُ وَنَفَعَهُمْ الإِعْتِقَادُ
“Berkat prasangka baik mereka mendapatkan apa yang mereka harapkan dan iktikad yang kuat memberikan mereka manfaat.”
Al-Habib Zain juga mengutip pernyataan:
صَاحِبُ حُسْنِ الظَّنِّ لَايَخِيْبُ وَإِنْ أخْطَأَ
“Seseorang yang berprasangka baik tidak akan rugi walau prasangkanya keliru.”
Dengan demikian bisa dipahami, bahwa prasangka dan iktikad baik seorang murid kepada guru merupakan hal penting yang tak bisa diabaikan, bahkan akan menjadi jalan yang mempermudah dirinya dapat memahami penjelasan dan pelajaran. Sebaliknya, kenihilan iktikad dan prasangka baik bisa menjadi penghalang seorang murid untuk memperoleh manfaat pelajaran dari gurunya.
Wallahu a’lam ….